Kematian "Penulis" dan Kelahiran "Pembaca"

 



Oleh: Syahirul alim

Tidak ada yang salah jika sebuah generasi kemudian tumbuh sebagai orang-orang yang gemar "membaca", walaupun pada kenyataannya sangat sedikit sekali diantara mereka merefleksikan hasil bacaannya melalui guratan tulisan yang dapat menginspirasi dan menambah wawasan orang banyak. Jika dikatakan bahwa generasi milenial atau "Gen Z" atau apalah sebutan untuk melihat fenomena generasi kekinian adalah mereka yang cenderung membaca dibanding menulis, bisa jadi benar adanya. 
    
 Baca Juga:
Parahnya, membaca bagi generasi saat ini lebih banyak bersumber dari media sosial (medsos) atau media berbasis internet lainnya, lengkap dengan seperangkat "ideologi" yang bersemayam dibalik batok kepala mereka masing-masing. Lalu, apa yang terjadi, jika medsos menjadi rujukan utama bagi setiap bacaan generasi saat ini? Para pembaca tentu saja hilang kekritisannya dan semakin mendorong lahirnya para "pembaca partisan", terkungkung oleh kekakuan ideologis yang bisa saja kemudian menjadi "pembaca radikal".


Para "pembaca radikal" tentu saja sebuah gambaran yang negatif, keluar dari upaya dirinya dari situasi kebodohan atau ketertinggalan informasi. Para pembaca model ini cenderung "reaktif" bahkan lebih mudah dalam menggeneralisasi setiap masalah dari hasil bacaan mereka terhadap tulisan orang lain. Anehnya, mereka kemudian membandingkannya dengan tulisan lainnya yang selaras dengan ideologi yang sedang mereka bangun. Para penulis yang bukan selera mereka dianggap telah "mati" bahkan "kematian" para penulisnya terus disebut-sebut sebagai sebuah bencana yang berbahaya bagi mereka. Mereka adalah para "pembaca" yang cenderung "monolitik" melakukan bacaan atas sebuah tulisan secara parsial, simplistik yang gambarannya sangat jelas terbukti memenuhi lini medsos.


Lalu, salahkah medsos? Tentu saja tidak. Sama halnya ketika ada sekelompok orang yang  mempersoalkan musik dan dinyatakan bahwa musik itu haram. Padahal, musik itu bisa berupa bunyi-bunyian, alat yang dibunyikan atau suara lain yang diperdengarkan secara harmonis di depan publik. Lalu, dimana keharamannya? Bunyinya? Alatnya? Atau suaranya? Ah, memang pembaca yang kehilangan daya kritisnya, telah menggeser upaya nalar untuk berpikir dan lebih mengedepankan emosi dan perasaan. Kondisi seperti ini tentu saja sangat mudah ketika seseorang yang sekadar "membaca" lalu dengan mudahnya menyederhanakan dan menyimpulkan apa yang dirinya baca, bukan sikap kritis yang membangun atau membudayakan dirinya membuat tulisan berimbang, karena sesungguhnya para penulis itu sudah "mati" bagi mereka.   


Membaca, tentu saja kegiatan yang baik, untuk merangsang otak agar senantiasa "hidup" menggerakkan seluruh lini sel-selnya akibat berpikir atas apa yang telah dibacanya. Namun, pembacaan atas banyak sumber belakangan ini---utamanya yang dengan mudah diakses lewat medsos---tidak memiliki "kebebasan", karena seringkali pembaca cenderung memilih apa yang sesuai dengan ideologi dibalik kepalanya, tidak membiarkan seluruh bahan bacaan yang tersedia, dibandingkan dan digali lebih dalam soal informasinya. 

Inilah kemudian, kenapa medsos disebut berpengaruh buruk bagi sumber bacaan seseorang, karena kemudahan akses membaca, tak berbanding lurus dengan tingkat literasi masyarakat. "Literasi" tentu saja bukan sekadar membaca, tetapi juga memahami, menggali berbagai informasi dari berbagai sumber bacaan lainnya dan kemudian menuliskannya.


Ungkapan kematian penulis atau pengarang, jauh-jauh hari sudah didengungkan oleh Roland Barthes pada 1968 melalui gagasannya, "The Death of Author". Ungkapan ini jelas, bukan sekadar kritik terhadap fenomena lahirnya para pembaca, tetapi lebih dari itu, kritik atas budaya menulis yang semakin lama semakin terkikis dan "mati". 


Lihat saja kelakukan para pembaca di medsos, yang tak lebih dari sekadar copas (copy-paste) link atau sumber bacaan, sharing, atau yang lebih parah berkomentar atas link atau sumber bacaan yang tidak utuh mereka baca, dengan komentar-komentar yang tentu saja "membunuh" ide-ide dan gagasan para penulisnya. Bagi saya, "medsos bahkan lebih kejam dari pembunuhan" karena didalamnya tidak saja "membunuh" seorang penulis, tetapi menyebarkannya kepada pihak lain, sehingga seluruh atribusi yang melekat dalam diri seorang pengarang "mati" secara perlahan.


Medsos pada satu sisi memang "membunuh" para penulis, karena terlampau banyak pembaca "kagetan" yang sekadar berkomentar atau mengumbar kata-kata sarkastis, bukan membalasnya dengan tulisan yang berimbang sehingga terjadi dinamisasi pemikiran manusia yang belakangan dikenal sebagai budaya "literasi". Anehnya, banyak pihak menggaungkan literasi hanya sekadar dorongan membaca, tanpa siap bersikap kritis apalagi menumbuhkan kebiasaan menulis. Saya kira, banyak para penulis yang "dihabisi" oleh generasi "pembaca" di medsos yang belakangan ini justru semakin sangat dirasakan.


Kita tentu saja merindukan masa-masa dimana para filosof, agamawan, sastrawan atau ilmuwan saling beradu argumentasi dalam setiap karya tulisnya yang mereka persembahkan kepada masyarakat. Ketidaksetujuan terhadap isi atau kerangka berpikir seseorang yang dituangkan dalam sebuah tulisan, akan dibuat sebuah tulisan berimbang dengan tentu saja perbedaan argumentasi yang dibangun untuk menolak ketidaksetujuannya.


Budaya literasi demikian berkembang sangat dinamis, sehingga tradisi keilmuan dalam membangun peradaban kemanusiaan jelas terasa sangat cepat. Manusia yang bodoh berhasil disadarkan oleh beragam tulisan yang dibaca secara sempurna, sehingga daya kritis setiap "pembaca" terbangun dengan baik. Lihat saja para tokoh agama atau ulama zaman terdahulu, betapa dinamika pemikiran berjalan dengan cepat atas pelbagai pembacaan mereka terhadap karya-karya penulis yang tersusun dalam kitab yang berjilid-jilid.


Sangat disayangkan, jika kelahiran generasi "pembaca" saat ini bukan menumbuhkembangkan sikap kritis atau penasaran terhadap pelbagai sumber-sumber bacaan, tetapi justru lahir sebagai generasi "pembaca" yang hanya dipenjarakan oleh sekelumit informasi dan bahan bacaan dari sumber medsos. Mereka menjadi para "pembaca radikal" yang gagal menjadi para pembaca yang kritis dan mau menggali informasi dari beragam sumber bacaan yang tersedia. 


Saya kira, Media Opini seperti Kompasiana, sebagai sebuah media literasi, yang tak hanya sekadar dibaca tetapi juga bisa menulis, harus mampu menjadikan wahana "menghidupkan" kembali para penulis yang dianggap telah "mati". Saya yakin, gelaran acara Kompasianival 2017 yang saat ini berlangsung adalah upaya "menghidupkan" kembali para penulis yang justru dianggap telah "mati" oleh sebagian pemikiran orang. Melalui Kompasiana, "kematian" para penulis dibangkitkan dan para pembaca diajak untuk lebih berpikir kritis bukan sebatas komentar seperti di medsos. Selamat berKompasianival, selamat berLiterasi yang cerdas!
SUMBER

Tidak ada komentar

Silahkan berkomentar dengan baik, karna setiap komentar adalah tanggung jawab anda sendiri.

Diberdayakan oleh Blogger.